BAB I
Pendahuluan
A.
Latar belakang
Dewasa
ini, perlu adanya pemahaman tentang sumber daya alam dan pengolahan sumber daya
alam agar terciptanya kesetabilan pada lingkungan alam kita, karena secara
tidak langsung aktivitas-aktivitas yang kita lakukan sehari-hari, kecil besar
berpengaruh terhadap alam sekitar kita. Contoh dalam hal pembangunan seperti
membangun rumah di bantaran kali, menggunakan lahan hijau untuk kepentingan
pembangunan tanpa melakukan penghijauan
kembali dan masih banyak lagi yang lain yang dampak dari itu semua langsung
pada kerusakan alam
Saat
ini banyak undang-undang yang telah diterbitkan terkait dengan pengelolaan
sumber daya alam dan lingkungan, namun diantara kedua belas itu tidak konsisten
dalam substansinya. Kondisi inlah yang membuat lingkungan kita semakin tidak
karuan, dan makin memprihatinkan kalau tidak diselaraskan, masa depan
pengelolaan lingkungan ke depan akan semakin kacau.
Hampir
semua uu mengacu pada pasal 33 uud, tetapi orientasinya saling berbeda.
Kesimpulan di atas diambil setelah dilakukan kajian dengan melihat tujuh aspek
tolok ukur (indikator) yang digunakan tim pengkaji, yakni orientasi, akses
memanfaatkan, hubungan negara dengan obyek, pelaksana kewenangan negara,
hubungan orang dengan obyek, hak asasi manusia, dan tata pemerintahan yang baik
(good governance).
Pada
aspek orientasi, ada yang prorakyat, prokapital, dan ada juga yang
mengombinasikan keduanya. Ditemukan ada uu yang semangatnya konservasi, ada
pula yang eksploitasi, atau keduanya menyatu. Kalau tujuannya untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, sesuai pasal 33 uud 45 seharusnya akses
bagi rakyat diutamakan, faktanya, ada beberapa contoh uu yang berpotensi
menyimpang dari memakmurkan rakyat, berpotensi meminggirkan hak masyarakat
adat, membatasi akses publik, propemodal, dan tidak sepenuhnya menjunjung ham. Undang-undang
itu antara lain uu nomor 11 tahun 1967 tentang ketentuan pokok pertambangan, uu
no 41/1999 tentang kehutanan, uu no 22/2001 tentang minyak dan gas bumi, serta
uu no 31/2004 tentang perikanan.
Oleh
karena itu, di dalam makalah ini , kami akan membahas uu
tentang pengelolaan sumber daya alam dan relevansinya terhadap
kesejahteraan masyarakat, namun kami hanya membatasi pada uu pengelolaan sumber
daya air, sumber daya minyak dan gas, sumber daya laut
B.
Rumusan masalah
1.
Bagaimana penerapan dan relevansi uu tentang
sumber daya air terutama tentang masalah privatisasi air terhadap kesejahteraan
masyarakat yang diatur dalam pasal 33 uud 1945?
2.
Bagaimana penerapan dan relevansi uu tentang sumber
daya minyak dan gas terhadap kesejahteraan masyarakat yang diatur dalam pasal
33 uud 1945 dengan semakin banyaknya pengelola sumber daya minyak dan
kompetitornya?
3.
Bagaimana penerapan dan relevansi uu tentang
sumber daya laut terutama pada masalah open access terhadap
kesejahteraan masyarakat yang diatur dalam pasal 33 uud 1945?
C.
Tujuan penulisan makalah
1.
Mengetahui penerapan dan relevansi uu tentang
sumber daya air terutama tentang masalah privatisasi air terhadap kesejahteraan
masyarakat yang diatur dalam pasal 33 uud 1945?
2.
Mengetahui penerapan dan relevansi uu tentang
sumber daya minyak dan gas terhadap kesejahteraan masyarakat yang diatur dalam
pasal 33 uud 1945 dengan semakin banyaknya pengelola sumber daya migas dan
kompetitornya?
3.
Mengetahui penerapan dan relevansi uu tentang
sumber daya laut terutama pada masalah open access terhadap
kesejahteraan masyarakat yang diatur dalam pasal 33 uud 1945?
BAB II
Pembahasan
A.
Latar belakang lahirnya privatisasi air di
indonesia
Sekitar tahun 1997 ketika krisis ekonomi melanda asia yang
berdampak pada kondisi ekonomi indonesia yang melemah. Akibat dari krisis
ekonomi stok utang luar negeri pemerintah indonesia bertambah akibat fluktuasi
mata uang. Sehingga menyebabkan pemerintah indonesia berserah diri pada program
imf(international monetary fund) melaksanakan kerangka kerja dan
kebijakan makro ekonomi yang tertuang dalam memorandum of economic and
financial policies dalam perjanjian letter of intent (loi). Dalam
perjanjian itu berisi mengenai keharusan pemerintah melakukan agenda reformasi
kebijakan dan institusional.
Berdasarkan memorandum diatas dan perkembangannya pada bulan april
1998, bank dunia menawarkan pada pemerintah indonesia suatu pinjaman program
untuk merestrukturisasi sektor sumber daya air yang disebut water resources
sector structural adjustment loan (watsal) yang isinya tidak lain adalah
menjerat pemerintah untuk segera melegalkan proses privatisasi air di indonesia
dengan pinjaman dari bank dunia. Sehingga sampai sekarang perusahaan-perusahaan
asing tumbuh subur di negeri indonesia melakukan privatisasi di segala bidang
termasuk sumber daya air, milik negara maju dan korporasi seperti: transasional
(tncs), vivensi universal, pt.thames pam jaya, bechtel internasional water dan
masih banyak yang lain.
Privatisasi air di indonesia adalah sebuah cermin dari bagaimana
kepentingan dari korporasi air global, penguasa yang korup serta diktator dan
pinjaman bank dunia menekan untuk dilakukannya privatisasi.
Sampai saat ini, sebagian besar rakyat miskin di indonesia masih hidup tanpa
jasa air yang layak
Secara umum,
privatisasi di indonesia dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama adalah
privatisasi sebelum krisis ekonomi 1997, dan privatisasi tahap kedua setelah
krisis ekonomi dan masuknya imf ke indonesia.
Privatisasi
tahap pertama berlangsung dengan pinjaman multilateral dari bank dunia dan
pinjaman bilateral dari jepang, perusahaan multinasional asal inggris dan
perancis, yakni suez dan thames, yang memulai untuk mengambil alih sistem air
publik. Yang menarik, privatisasi ini melibatkan konglomerasi indonesia atas
nama pt kekar pola airindo. Di belakang kekar pola airindo, terdapat nama salim
group, yakni anthony salim, dan sigit harjojudanto. Dua orang ini bisa dibilang
sebagai “kroni” dari pemerintahan soeharto, terutama melihat hubungan keluarga
antara soeharto dan sigit, serta hubungan bisnis antara soeharto dan salim
group.
Kehadiran
thames water overseas di indonesia pertama kali pada tahun 1993. Perusahaan
multinasional asal london ini menggandeng putra soeharto, sigit harjojudanto,
sebagai partnernya. Padahal, sigit bukanlah seorang pemain yang mengerti benar
pengelolaan air. Thames membentuk perusahaan lokal dan kemudian memberi sigit
20 % dari keuntungan. Mengutip pernyataan teten
masduki, “setiap perusahaan multinasional di indonesia selalu bekerjasama
dengan kroni soeharto. Dari semua sektor, listrik, minyak, air, dan lainnya,
merupakan bentuk oligarki korupsi. Perusahaan itu ingin mendapatkan perlindungan
politik. Anak-anak soeharto tersebut mendapatkan bagian tanpa menaruh
investasi, hanya untuk pengaruh secara politik.”
Kemudian, terjadi konsesi atas pembagian kerjasama, sigit bekerjasama dengan
thames membentuk kekar pola airindo, sedang salim group dengan suez membentuk
pt garuda dipta nusantara. Hal ini dilakukan karena hukum nasional saat itu
melarang adanya investasi asing di bidang penyediaan air.
Ketika terjadi
kerusuhan seperti tergambar pada ilustrasi di atas, petinggi thames dan suez mulai
memikirkan kembali masa depan bisnis mereka di indonesia. Karena telah terikat
kontrak di awal selama 25 tahun, dua perusahaan multinasional itu memutuskan
untuk terus beroperasi di indonesia, namun kali ini privatisasi dilangsungkan
langsung menggandeng pam jaya, karena menurunnya peran dari “kroni-kroni”
soeharto. Dengan negosiasi yang berlangsung dengan pam, akhirnya thames dan
suez merestrukturisasi manajemen mereka termasuk kerjasama dengan kekar pola
dan garuda dipta. Pada tahun 2001, dibentuklah pt pam thames jaya dan pt pam
lyonnaise jaya, dengan menggandeng pt terra meta phora dan pt bangun cipta
sarana.
Tujuan awal
privatisasi air adalah untuk menyediakan air bersih di indonesia secara lebih
luas. Indonesia, menurut catatan undp, memiliki 55 % penduduk yang rawan akan
akses air bersih. Banyak penyebab mengapa persediaan air bersih di indonesia
menurun, pertama karena kerusakan sungai, kedua karena pencemaran air tanah,
dan ketiga karena pencemaran sungai. Di jakarta, air
bersih menjadi sebuah permasalahan karena banyak air yang telah tercemar
polutan atau bakteri tanah. Padahal, air adalah sumber daya alam yang sangat
penting nilainya bagi manusia.
B.
Penerapan dan relevansi uu tentang sumber daya
air terutama tentang masalah privatisasi air terhadap kesejahteraan masyarakat
yang diatur dalam pasal 33 uud 1945
Sumber daya air adalah air (sumber air, dan daya air
yang terkandung di dalamnya), dalam perkembangan privatisasi air
di indonesia dan kaitannya dengan undang-undang no 7 tahun 2004 tentang sumber
daya air adalah pengelolaan sumberdaya air yang mana sebelumnya uu sda no 7 th
2004, sektor sumber daya air indonesia diatur oleh uu no 11 th 1974 tentang
pengairan. Namun, seiring dengan berkembangnya zaman dan adanya
perubahan-perubahan yang cepat dalam kehidupan masyarakat (globalisasi,
perubahan kebijakan ekonomi, politik dan desentralisasi), maka uu 1974
tersebut sudah tidak memadai. Ditambah lagi dengan aturan-aturan yang terkait
dengan sumber daya air dan pengelolaannya yang tidak integratif dan
koordinatif. Maka, perlu ada kebijakan baru yang akomodatif terhadap
perkembangan dan perubahan-perubahan yang terjadi, juga terpadu, menyeluruh,
berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Namun apa yang terjadi sebaliknya, akibat dari restrukturisasi
inilah bank dunia dengan mulusnya memberikan pinjaman restrukturisasi sektor
sumber daya air (watsal), hasilnya adalah uu no 7 th 2004 yang
dalam pengelolaannya lebih mengedepankan mereka yang mempunyai modal yang hanya
berorientasi pada eksploitasi sumber daya air demi mencari keuntungan
sebesar-besarnya, tanpa memperhatikan kondisi ekologi air dan lingkungan
jangka panjang untuk kelestarian terpenuhinya hak atas air.
Dalam undang-undang dasar 1945 pasal 33 ayat 3
menyatakan bahwa sumber daya air dikuasai oleh negara dan dipergunakan
sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat secara adil, atas penguasaan sumber
daya air oleh negara dimaksud negara menjamin hak setiap orang untuk
mendapatkan air bagi pemenuhan kebutuhan pokok sehari-hari dan melakukan
pengaturan hak atas air. Secara tidak langsung uu no 7 th 2004 tentang sda
bertentangan dengan uud pasal 33 ayat 3 karena negara menjamin hak atas air sepenuhnya,
padahal pada realitasnya masyarakat yang ekonominya kelas bawah untuk
mendapatkan air saja bersih harus mengeluarkan biaya yang amat besar.
Pemerintah sebagai pemegang kebijakan sudah tidak berpihak lagi
pada rakyat yang hanya berorientasi pada kekuasaan dan kekayaan semata, tanpa
memperdulikan rakyat yang hanya menikmati haknya untuk mendapatkan air harus
bayar dengan biaya yang mahal dan petani yang menunggu musim tanam harus
membeli air yang sudah dikuasai pihak asing atau sudah di privatisasi. Selain
itu akan timbul berbagai masalah diantaranya mengenai eksploitasi air yang
berlebihan berubahnya fungsi sosial air sebagai barang publik. Mungkinkah kita
harus menggadaikan sumber air kita dengan sekoper uang yang akan habis dalam
jangka waktu 10 sepuluh tahun, sementara anak cucu tidak lagi bisa menikmati
air bersih, dan yang terakhir marilah dimulai dari kita untuk hemat air demi
hidup yang berkesinambungan dan kelestarian air.
Kualitas air
buruk, terjadinya kebocoran air, serta naiknya harga air yang masih disubsidi
pemerintah membuat privatisasi air perlu ditinjau kembali.
Namun
demikian, tidak semua bentuk privatisasi gagal dari berbagai indikator.
Privatisasi air di brazil, misalnya, dapat dikatakan berhasil dalam fungsi
penyediaan air serta masalah harga air. Privatisasi tersebut berhasil dengan
pengawasan lembaga swadaya masyarakat atau non-governmental organization yang
memantau proses privatisasi air oleh perusahaan multinasional. Privatisasi
indosat yang menuai banyak kontroversi, sebaliknya sangat berhasil dalam
menurunkan harga atau tarif kepada publik. Dampak yang dirasakan konsumen
telepon seluler adalah turunnya tarif komunikasi dan membuat pasar telepon
seluler menjadi lebih kompetitif.
Dengan segala
konteks global, globalisasi yang membuat terhapusnya batas-batas negara
termasuk batas perputaran uang, dan pemikiran neoliberal yang mengarus utama,
privatisasi air di indonesia yang melibatkan perusahaan multinasional
dimungkinkan terjadi. Wacana privatisasi bukanlah sebuah wacana yang bebas
nilai, dengan melihat bagaimana pengetahuan-pengetahuan dalam studi pembangunan
dibentuk oleh lembaga keuangan global. Dengan melihat kekuatan yang ada di
belakang privatisasi air di indonesia ini dan menonjolnya aspek kuasa ini,
dapat kita pahami mengapa pada akhirnya privatisasi gagal dalam menjawab
permasalahan penyediaan air bersih di indonesia, terutama akses air untuk
penduduk miskin.
C.
Latar belakang
terjadinya open acces
Dari adanya undang-undang yang di
tetapkan oleh pihak legislatif yaitu bahwa masyarakat berhak atas pengawasan
hasil laut dari sanalah mereka merasa diberi kekuasaan atau hak atas pengawasan
tersebut, disinilah timbul bahwa mereka berhak atas laut yang mereka yakini
masih pada wilayah daerah mereka. Sehingga konflikpun terjadi yaitu perebutan
wilayah kekuasaan laut yang mereka anggap daerah mereka yang biasanya di pakai
untuk penangkapan hasil laut, seperti contoh pada daerah madura mereka
menghakimi bahwa laut yang ada di sekitar pulau mereka tempati itu adalah
wilayah mereka untuk berburu hasil laut, jika ada orang asing yang masuk pada
wilayah yang dianggap itu daerah kekuasaan mereka maka mereka tidak segan-segan
untuk mencegah atau menghakimi bahkan juga sampai terjadi pertengkaran, hal itu
juga disebabkan karena mereka kurangnya pengetahuan apa arti dan maksud
undang-undang yang ada tentang laut dan hasil tangkapan.
D.
Penerapan dan
relevansi masalah open acces terhadap kesejahteraan masyarakat
Menurut undang-undang
tentang kesejahteraan sosial pasal 33 ayat 3 yaitu bahwa bumi dan air dan
kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat tetapi hal ini tidak dapat berjalan
sesuai undangundang dikarenakan ada beberapa konflik yakni
Faktor dan
bentuk penyebab konflik pengelolaan sumber daya laut antar pemerintah daerah/
provinsi
1.
Faktor penyebab
konflik
Hal-hal yang menjadi faktor penyebab
munculnya konflik terkait dengan pengelolaan sumber daya laut termasuk
perikanan antar pemerintah daerah/ propinsi adalah:
a.
Belum adanya
ketegasan pelaksanaan wewenang pemerintah daerah propinsi/ kabupaten/ kota
untuk mengelola sumber daya laut. Termasuk kewenangan mengelola sumber daya
perikanan. Ketegasan pelaksanaan dari ketentuan pasal 18 ayat (4) dan ayat (7)
uu no.32 tahun 2004 tentang pemerintah daerah yang masih harus diatur dengan
peraturan perundang-undangan, aturan hokum yang sampai saat ini belum ada.
b.
Kewenangan
daerah dalam mengelola sumber daya laut terutama perikanan mengalami kesulitan
dalam pelaksanaannya. Karena materinya dapat mengakibatkan “overlapping”
antara pemerintah pusat dan pemerintah propinsi.
c.
Pembagian zona
penangkapan ikan melalui keputusan menteri pertanian no.392/kpts/ik.120/4/1999
tentang jalur-jalur penangkapan ikan yang berlaku untuk setiap nelayan
diseluruh perairan nasional, tidak dibatasi dengan pembatasan kewenangan
masing-masing pemerintah daerah / propinsi dalam penangkapan ikan.
2.
Bentuk-bentuk
konflik kepentingan terkait dengan pengelolaan sumber daya laut termasuk
perikanan antar pemerintah daerah/ propinsi adalah:
a.
Terjadinya
perebutan sumber daya alam terutama perikanan yang terdapat di wilayah
perbatasan antara daerah termasuk di dalamnya kawasan konservasi sumber daya
perikanan oleh masyarakat hokum adat
b.
Terjadinya
tumpang tindih kewenangan antar lembaga dalam hal pengeluaran izin pengelolaan
sumber daya alam terutama perikanan.
c.
Terjadinya
konflik batas antar daerah/ propinsi yang satu dengan lainnya. Terutama konflik
antar nelayan terkait dengan wilayah penangkapan ikan yang terjadi di wilayah
perbatasan antar daerah/propinsi.
Alternatif dan
pengaturan penyelesaian konflik pengelolaan sumber daya laut antar pemerintah
daerah/ provinsi.
Alternatif
penyelesaian konflik dan pranata hokum untuk mengatur penyelesaian konflik
pengelolaan sumber daya laut antar pemerintah daerah/ provinsi
1. Alternatif penyelesaian konflik
A) kerjasama antara pemerintah
daerah/provinsi yang satu dengan lainnya dalam pengelolaan sumber daya laut.
B) koordinasi kelembagaan dan
penegakan hokum dalam pengelolaan sumber daya laut.
2. Pranata hukum untuk mengatur
penyelesaian konflik
Salah satu
faktor pranata hukum yang menjadi acuan pemerintah daerah/ provinsi untuk
mengatur penyelesaian konflik antar daerah dalam mengelola sumber daya laut
meliputi pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka disentralisasi kewenangan
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan oleh masing-masing pemerintah
daerah/ provinsi. Pengaturannya diwujudknan dalam bentuk aturan hokum berupa
peraturan daerah sesuai ketentuan pasal 136 ayat 2 undang-undang nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah.
Aturan hukum
lainnya yang mengatur penyelesaian konflik kewenangan antara pemerintah
daerah/propinsi dalam mengelola sumber daya laut terutama perikanan adalah
undang-undang nomor 31 tahun 2004 tentang perikanan. Kewenangan pemerintah
daerah untuk mengelola sumber daya perikanan diatur pada bab xi pasal 65
tentang penyerahan urusan dan tugas pembantuan
E.
Pola pengelolaan minyak dan gas yang
diterapkan di indonesia
Pola yang diterapkan indonesia adalah model kontrak bagi hasil (production
sharing contract) yang juga banyak diadopsi oleh negara lain, seperti
malaysia.
Kontrak bagi hasil merupakan kontrak dimana produksi dibagi berdasarkan
prosentase tertentu yang disepakati. Kontrak yang pernah ada di indonesia
antara lain:
1.
Konsesi : kontraktor memiliki kekuasaan penuh
atas minyak yang ditambang dan wajib membayar royalti kepada negara. Kontrak
ini tidak ada lagi sejak 1961
2.
Kontrak karya : merupakan kontrak profit
sharing dimana manajemen ada di
kontraktor. Kontrak ini tidak ada lagi sejak 1983
3.
Production sharing contract
4.
Technical assistance contract (produksi yang
dibagi hanya diperoleh dari pertambahan produksi setelah secondary recovery.
Bukan dari total produksi)
5.
Joint operating body. Kontrak ini sama seperti
psc namun pemerintah/pertamina ikut serta dalam permodalan sehingga komposisi
menjadi 50 : 50.
Indonesia memberikan hak kepada perusahaan minyak, terutama asing,
untuk mengolah sumber daya migas dibandingkan mengelola sendiri atau melalui
bumn, hal ini dikarenakan indonesia belum memiliki modal dan teknologi untuk
mencari dan mengelola migas sendiri, disamping itu industri migas memiliki
karakteristik padat modal, padat teknologi dan ketidakpastian (resiko). Tidak
ada yang bisa menjamin bahwa didalam perut bumi terkandung minyak dan gas yang
memiliki jumlah yang ekonomis. Oleh karena itu indonesia mengundang perusahaan
asing untuk mengelola sumber daya migas.
Terdapat dua institusi pemerintah yang mengatur kegiatan
operasional migas. Yang pertama adalah kementerian energi dan sumber daya
mineral (esdm) melalui direktorat jenderal minyak dan gas bumi (ditjen migas) serta
badan pelaksana kegiatan hulu minyak dan gas bumi (bpmigas)
Dalam uu no 22 tahun 2001 (mengenai migas), kegiatan industri migas
dibagi menjadi kegiatan hulu (mencari sampai menghasilkan produk migas) dan
kegiatan hilir (pemasaran migas). Dahulu kegiatan hilir dikuasi oleh pertamina,
namun sekarang sudah dibuka 100% untuk perusahaan lain diluar pertamina.
Sehingga bukan hanya spbu pertamina yang sering kita lihat tetapi spbu shell
dan petronas sudah mulai masuk indonesia. Institusi yang mengatur kegiatan hulu
adalah bpmigas sedangkan institusi yang mengatur kegiatan hilir adalah bph
migas ( h nya adalah hilir).
Pertamina, dalam hal ini pt pertamina ep, merupakan salah satu
kontraktor migas nasional yang mendapatkan hak atas beberapa wilayah kerja di
seluruh indonesia. Jadi posisi pertamina, dalam hal ini pertamina ep, sama
dengan kontraktor migas lain seperti medco, chevron, exxon. Sebelum adanya uu
no 22 tahun 2001 mengenai minyak dan gas bumi, pertamina merupakan pemegang
kuasa atas pengelolaan migas di indonesia. Sehingga kontraktor migas
menandatangani kontrak dengan pertamina. Namun dengan uu tsb, dilakukan
pemisahan antara regulator dan player. Fungsi regulator diserahkan kepada badan
pelaksana (dalam hal ini bpmigas) sedangkan pertamina disamakan fungsinya
seperti kontraktor migas lainnya
F. Relevansi
antara uu migas no. 22 tahun 2001
dengan kesejahteraan masyarakat yang telah diatur dalam uud 1945 pasal 33.
Menurut pengamat ekonomi
ikhsan nurdin nursi menegaskan, 95 persen sektor migas indonesia dikuasai
korporasi asing. Pt chevron asal as menjadi salah satu penguasa terbesar migas
di indonesia yang mengambil porsi 44 persen.
Selain chevron, terdapat
perusahaan asing yang ikut menikmati kekayaan alam indonesia. Antara lain,
total e&p (10 persen), conoco phillips (8 persen), medco energy (6 persen),
china national offshore oil corporation (5 persen), china national petroleum
corporations (2 persen), british petroleum, vico indonesia, dan kodeco energy
masing-masing satu persen. Sedangkan pertamina, perusahaan bumn hanya
mendapatkan porsi 16 persen.
Melihat kondisi diatas, uu
migas tersebut secara filosofis, substansi dan materi telah melenceng jauh dari
amanat yang dikandung secara substantif dalam pasal 33 uud 1945 karena tidak
menegaskan bahwa kepemilikan produksi migas secara keseluruhan berada pada
negara. Pengelolaan migas dalam konteks kedaulatan dan kemadirian migas
nasional seharusnya hanya diusahakan oleh negara dan pelaksanaannya ditugaskan
dan dikuasakan kepada badan usaha milik negara (pertamina) sebagai pemberian
kuasa usaha migas secara eksklusif.
Adanya uu tersebut
menyebabkan keterpurukan tata kelola migas di indonesia, hal ini menyebabkan
kita menjual gas dengan harga murah di luar negeri, tapi di dalam negeri belum
terpenuhi.
Pada pasal 9 uu itu menyamakan posisi pertamina
sebagai bumn dengan swasta termasuk asing. Sedangkan dalam pasal 10 melarang
badan usaha (termasuk bumn pertamina) melakukan kegiatan usaha di sektor hulu
dan hilir sekaligus. Pasal 13, satu badan usaha termasuk bumn pertamina, hanya
diberi satu wilayah kerja, untuk setiap wilayah kerja harus dibentuk badan
hukum terpisah.
Bumn diharuskan bersaing dengan perusahaan swasta
bahkan asing untuk mendapat tender mengelola migas milik negara sendiri. Uu ini
melarang pertamina, artinya negara melarang dirinya sendiri untuk
mengeksplorasi dan sekaligus menjual migas di negaranya sendiri; mengharuskan
negara mengelola migas melalui bukan badan usaha, padahal di negara manapun
negara mengelola migasnya melalui bumn; mengharuskan bumn pertamina di
pecah-pecah alias dikerdilkan oleh negara sendiri, dan keanehan lainnya.
Akibatnya, asing bebas
menguasai migas. Data dirjen migas (2010), pertamina dan mitra hanya menguasai
16% dari produksi migas, sisanya dikuasai asing. Bagian pemerintah yang dulu
sesuai production sharing contract (psc) lama (1971) bagi hasil
pemerintah:kontraktor setelah cost recovery dan pajak sebesar 85:15,
justru menurun menjadi 63:37 sesuai peraturan psc yang berlaku pasca uu no.
22/2001 (lihat: oil & gas indonesia: investment and taxation guide, pwc.
2010)
Dari kenyataan diatas, dapat kita lihat kesejahteraan masyarakat
indonesia masih dipertanyakan. Adanya uu tentang migas belum sepenuhnya memihak
kepada masyarakat bahkan dalam beberapa pasal melenceng dari uud 1945 sebagai
konstitusi negara indonesia. Banyak pihak menginginkan agar uu tentang migas
segera direvisi untuk memihak kepada masyarakat dan menjadikan negara indonesia
berdaulat.
BAB III
Penutup
Sumber
daya air adalah air (sumber air, dan daya air yang terkandung di dalamnya), dalam
perkembangan privatisasi air di indonesia dan kaitannya dengan undang-undang no
7 tahun 2004 tentang sumber daya air adalah pengelolaan sumberdaya air yang
mana sebelumnya uu sda no 7 th 2004, sektor sumber daya air indonesia diatur
oleh uu no 11 th 1974 tentang pengairan. Namun, seiring dengan berkembangnya
zaman dan adanya perubahan-perubahan yang cepat dalam kehidupan masyarakat (globalisasi,
perubahan kebijakan ekonomi, politik dan desentralisasi), maka uu 1974
tersebut sudah tidak memadai. Ditambah lagi dengan aturan-aturan yang terkait
dengan sumber daya air dan pengelolaannya yang tidak integratif dan koordinatif.
Salah satu
faktor pranata hukum yang menjadi acuan pemerintah daerah/ provinsi untuk
mengatur penyelesaian konflik antar daerah dalam mengelola sumber daya laut
meliputi pelaksanaan otonomi daerah dalam rangka disentralisasi kewenangan
pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan oleh masing-masing pemerintah
daerah/ provinsi. Pengaturannya diwujudknan dalam bentuk aturan hokum berupa
peraturan daerah sesuai ketentuan pasal 136 ayat 2 undang-undang nomor 32 tahun
2004 tentang pemerintahan daerah.
Bumn diharuskan bersaing dengan perusahaan swasta
bahkan asing untuk mendapat tender mengelola migas milik negara sendiri. Uu ini
melarang pertamina, artinya negara melarang dirinya sendiri untuk
mengeksplorasi dan sekaligus menjual migas di negaranya sendiri; mengharuskan
negara mengelola migas melalui bukan badan usaha, padahal di negara manapun
negara mengelola migasnya melalui bumn; mengharuskan bumn pertamina di
pecah-pecah alias dikerdilkan oleh negara sendiri, dan keanehan lainnya.
Demikian makalah yang saya buat, tak ada gading yang
tak retak, saya yakin dalam penulisan makalah ini masih banyak terdapat
kekurangan. Saran dan kritik yang membangun, sangat kami harapkan demi
perbaikan makalah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar