Bangtan Sonyeondan

Bangtan Sonyeondan

Jumat, 26 Juli 2019

“Persepsi Pendidikan Terhadap Anak Perempuan dan Laki-laki Pada Etnis Batak”


MINI REASERCH

Persepsi Pendidikan Terhadap Anak Perempuan dan Laki-laki Pada Etnis Batak

Tugas Ini Diajukan Untuk Memenuhi Tugas kelompok Mata Kuliah
“Imu Sosial & Budaya Dasar”
DISUSUN OLEH :
INAYATI HASNI NASUTION (1153171011)
MUHAMMAD NUR HABIBIE (1153171014)
SYAHRINA FAUZA Br SEMBIRING (1151171022)
VIVI SIHOTANG (1151171026)
JAMES HUTABARAT (1153371014)
MARIO JONATHAN SIHOMBING (1153371018)
PLS REGULER/EKSTENSI– A 2015
JURUSAN PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI MEDAN
MEDAN
2018








KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmatNya, kami dapat menyelesaikan mini reaserch ini dengan baik. Dan kami juga mengucapkan terima kasih kepada Ibu Dra. Flores Tanjung, M.A.  selaku dosen pengampu mata kuliah Imu Sosial dan Budaya Dasar yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami sangat berharap tugas ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan kita. Kami juga menyadari sepenuhnya bahwa di dalam tugas ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab itu, kami berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan tugas yang telah kamibuat di masa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga tugas yang sederhana ini dapat dipahami bagi siapa pun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi kami sendiri maupun orang yang membacanya.


Medan,    Mei 2018



            Kelompok 2







BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Seperti yang kita ketahui Indonesia adalah Negara dengan berbagai macam suku dan budaya. Dari sabang sampai merauke terbentang pulau-pulau yang didalamnya terdapat berbagai macam suku dan budaya Bangsa Indonesia. Secara utuh kami kutip penjelasan pasal 32 Undang-Undang 1945 yang menyatakan bahwa “Kebudayaan Bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai usaha budidaya rakyat Indonesia seluruhnya”. penjelasan ini memberi arah kepada kita bahwa kebudayaan nasional tetap dan harus berdasar serta berakar pada puncak-puncak kebudayaan asli di daerah-daerah. Keanekaragaman kebudayaan dan masyarakat Indonesia diwarnai oleh kesamaan-kesamaan dan perbedaan-perbedaan, dengan demikian puncak-puncak kebudayaan lama dan asli tersebut mestilah memiliki unsur kebudayaan yang memenuhi syarat menuju kearah kemajuan adab, budaya dan persatuan bangsa.
Batak sendiri merupakan salah satu jenis suku dari puluhan suku yang ada di Indonesia. Batak adalah suku yang terdapat di bagian Sumatra Indonesia. Banyak orang mengenal bahwa suku batak itu sendiri merupakan suku yang keras dan memiliki tempramen yang tinggi. Mungkin itu terjadi karena letak dari suku tersebut yang ada dibagian ujung Indonesia dan sebenarnya semua dari suku batak tersebut serupa dengan sifat-sifatnya.
Pada makalah ini, kami akan membahas secara rinci tentang kebudayaan suku batak. Mata pencaharian masyarakat suku batak, adat istiadat yang biasa dilakukan oleh suku batak, kepercayaan yang dianut suku batak, kesenian suku batak, serta sistem kekerabatan yang ada didalam kebudayaan suku batak.




BAB II
KAJIAN TEORI
A.    Sejarah Suku Batak
Suku Batak merupakan salah satu suku bangsa terbesar di Indonesia. Nama ini merupakan sebuah tema kolektif untuk mengidentifikasikan beberapa suku bangsa yang bermukim dan berasal dari Pantai Barat dan Pantai Timur di Provinsi Sumatera Utara. Suku bangsa yang dikategorikan sebagai Batak adalah Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, dan Mandailing. Batak adalah rumpun suku-suku yang mendiami sebagian besar wilayah Sumatera Utara. Namun sering sekali orang menganggap penyebutan Batak hanya pada suku Toba padahal Batak tidak diwakili oleh suku Toba. Sehingga tidak ada budaya dan bahasa Batak tetapi budaya dan bahasa Toba, Karo, Simalungun dan suku-suku lain yang serumpun.
Orang Batak adalah penutur bahasa Austronesia namun tidak diketahui kapan nenek moyang orang Batak pertama kali bermukim di Tapanuli dan Sumatera Timur. Bahasa dan bukti-bukti arkeologi menunjukkan bahwa orang yang berbahasa Austronesia dari Taiwan telah berpindah ke wilayah Filipina dan Indonesia sekitar 2.500 tahun lalu, yaitu pada zaman batu muda (Neolitikum).[3] Karena hingga sekarang belum ada artefak Neolitikum (Zaman Batu Muda) yang ditemukan di wilayah Batak maka dapat diduga bahwa nenek moyang Batak baru bermigrasi ke Sumatera Utara pada zaman logam.
Pada abad ke-6, pedagang-pedagang Tamil asal India mendirikan kota dagang Barus, di pesisir barat Sumatera Utara. Mereka berdagang kapur Barus yang diusahakan oleh petani-petani di pedalaman. Kapur Barus dari tanah Batak bermutu tinggi sehingga menjadi salah satu komoditas ekspor di samping kemenyan. Pada abad ke-10, Barus diserang oleh Sriwijaya. Hal ini menyebabkan terusirnya pedagang-pedagang Tamil dari pesisir Sumatera. Pada masa-masa berikutnya, perdagangan kapur Barus mulai banyak dikuasai oleh pedagang Minangkabau yang mendirikan koloni di pesisir barat dan timur Sumatera Utara. Koloni-koloni mereka terbentang dari Barus, Sorkam, hingga Natal.
Hingga saat ini, teori-teori masih diperdebatkan tentang asal usul dari Bangsa Batak. Mulai dari Pulau Formosa (Taiwan), Indochina, Mongolia, Mizoram dan yang paling kontroversial Sepuluh Suku yang Hilang dari Israel
Terbentuknya masyarakat Batak yang tersusun dari berbagai macam marga, sebagian disebabkan karena adanya migrasi keluarga-keluarga dari wilayah lain di Sumatra. Penelitian penting tentang tradisi Karo dilakukan oleh J.H Neumann, berdasarkan sastra lisan dan transkripsi dua naskah setempat, yaitu Pustaka Kembaren dan Pustaka Ginting. Menurut Pustaka Kembaren, daerah asal marga Kembaren dari Pagaruyung di Minangkabau. Orang Tamil diperkirakan juga menjadi unsur pembentuk masyarakat Karo. Hal ini terlihat dari banyaknya nama marga Karo yang diturunkan dari Bahasa Tamil. Orang-orang Tamil yang menjadi pedagang di pantai barat, lari ke pedalaman Sumatera akibat serangan pasukan Minangkabau yang datang pada abad ke-14 untuk menguasai Barus.
B.     Unsur-unsur kebudayaan
1. Realigi
a)      Kepercayaan Asli Suku Batak
Kepercayaan yang dianut suku batak sebelum mengenal agama protestan dan islam adalah kepercayaan bahwa alam semesta beserta isinya diciptakan oleh Debata Mula Jadi Na Bolon dan bertempat tinggal diatas langit, bahkan pada masyarakat daerah pedesaan belum meninggalkan kepercayaan tersebut, mereka mempunyai system kepercayaan dan religi tentang Mulajadi Nabolon yang memiliki kekuasaan diatas langit dan pancaran kekuasaan-Nya terwujud dalam Debata Natolu.
b)     Parmalim
Istilah Parmalim merujuk kepada penganut agama  Malim. Agama Malim yang dalam bahasa Batak disebut Ugamo Malim adalah bentuk moderen agama asli suku Batak. Agama asli Batak tidak memiliki nama sendiri, tetapi pada penghujung abad kesembilan belas muncul sebuah gerakan anti kolonial. Pemimpin utama mereka adalah Guru Somalaing Pardede. Agama Malim pada hakikatnya merupakan agama asli Batak, namun terdapat pengaruh agama Kristen, terutama Katolik, dan juga pengaruh agama Islam.
Agama ini tidak mengenal Surga atau sejenisnya, sepeti agama umumnya, selain Debata Mula jadi Na Bolon (Tuhan YME) dan Arwah-arwah leluhur, belum ada ajaran yang pasti reward atau punisnhment atas perbuatan baik atau jahat, selain mendapat berkat atau dikutuk menjadi miskin dan tidak punya turunan. Tujuan upacara agama ini memohon berkat Sumangot dari Debata Mula jadi Na bolon (Tuhan YME), dari Arwah-arwah leluhur, juga dari Tokoh-tokoh adat atau kerabat-kerabat adat yang dihormati, seperti Kaum Hula-hula (dari sesamanya). Agama ini lebih condong ke paham Animisme. Agama ini bersifat tertutup, masih hanya untuk suku Batak, karena upacara ritualnya memakai bahasa Batak, dan setiap orang harus punya marga, tidak beda dengan agama-agama suku-suku animisme dibelahan bumi lainnya, sifatnya tidak universal.
Tuhan dalam kepercayaan Malim adalah "Debata Mula Jadi Na Bolon" (Tuhan YME) sebagai pencipta manusia, langit, bumi dan segala isi alam semesta yang disembah oleh "Umat Ugamo Malim" ("Parmalim"). Agama Malim terutama dianut oleh suku Batak Toba di provinsi Sumatera Utara. Sejak dahulu kala terdapat beberapa kelompok Parmalim namun kelompok terbesar adalah kelompok Malim yang berpusat di Huta Tinggi, Kecamatan Lagu Boti, Kab. Toba Samosir. Hari Raya utama Parmalim disebut Si Pahasada (yaitu '[bulan] Pertama') serta Si Pahalima (yaitu '[bulan] Kelima) yang secara meriah dirayakan di kompleks Parmalim di Huta Tinggi.
c)      Masuknya Agama Islam Di Tanah Batak
Pada abad 19 agama Islam masuk daerah penyebarannya meliputi batak selatan. Masyarakat Batak tidak pernah mengenal Islam sebelum disebarkan oleh para pedagang Minangkabau. Bersamaan dengan usaha dagangnya, banyak pedagang Minangkabau yang melakukan menikah dengan perempuan Batak. Hal ini secara perlahan telah meningkatkan pemeluk Islam di tengah-tengah masyarakat Batak. Pada masa perang Paderi di awal abad ke-19, pasukan Minangkabau menyerang tanah Batak dan melakukan pengislaman besar-besaran atas masyarakat Mandailing dan Angkola. Namun penyerangan Paderi atas tanah Toba, tidak dapat mengislamkan masyarakat tersebut, yang pada akhirnya mereka menganut agama Kristen Protestan. Kerajaan Aceh di utara, juga banyak berperan dalam mengislamkan masyarakat Karo dan Pakpak. Sementara Simalungun banyak terkena pengaruh Islam dari masyarakat Melayu di pesisir Sumatera Timur.
d)     Misionaris Kristen
Agama Kristen masuk sekitar tahun 1863 dan penyebarannya meliputi batak utara.  Pada tahun 1824, dua misionaris baptis asal Inggris, Richard Burton dan Nathaniel Ward berjalan kaki dari Sibolga menuju pedalaman Batak. Setelah tiga hari berjalan, mereka sampai di dataran tinggi Silindung dan menetap selama dua minggu di pedalaman. Dari penjelajahan ini, mereka melakukan observasi dan pengamatan langsung atas kehidupan masyarakat Batak. Pada tahun 1834 kegiatan ini diikuti oleh Henry Lyman dan Samuel Manson dari dewan komisaris Amerika untuk misi luar negeri.
Pada tahun 1850, dewan Injil Belanda menugaskan Herman Neubronner Van Der Tuuk untuk menerbitkan buku tata bahasa dan kamus bahasa Batak-Belanda. Hal ini bertujuan untuk memudahkan misi-misi kelompok Kristen Belanda dan Jerman berbicara dengan masyarakat Toba dan Simalungun yang menjadi sasaran pengkristenan mereka.
Misionaris pertama asal Jerman tiba di lembah sekitar Danau Toba pada tahun 1861 dan sebuah misi pengkristenan dijalankan pada tahun 1881 oleh Dr. Ludwig Ingwer Nommensen. Kitab Perjanjian Baru untuk pertama kalinya diterjemahkan ke bahasa Batak Toba oleh Nommensen pada tahun 1869 dan penerjemahan Kitab Perjanjian Lama diselesaikan oleh P.H. Johannsen pada tahun 1891. Teks terjemahan tersebut dicetak dalam huruf latin di Medan pada tahun1893. Menurut H.O. Voorma, terjemahan ini tidak mudah dibaca, agak kaku dan terdengar aneh dalam bahasa Batak.
Masyarakat Toba dan Karo menyerap agama Kristen dengan cepat dan pada awal abad ke-20 telah menjadikan Kristen sebagai identitas budaya. Pada masa ini merupakan periode kebangkitan kolonialisme Hindia-Belanda, dimana banyak orang Batak sudah tidak melakukan perlawanan lagi dengan pemerintahan colonial. Perlawanan secara gerilya yang dilakukan oleh orang-orang Batak Toba berakhir pada tahun 1907, setelah pemimpin kharismatik mereka, Sisingamangaraja XII wafat.
e)      Gereja HKBP
Gereja Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) telah berdiri di Balige pada bulan September 1917. Pada akhir tahun 1920-an, sebuah sekolah perawat memberikan pelatihan keperawatan kepada bidan-bidan disana. Kemudian pada tahun 1941. Gereja Batak Karo Protestan (GBKP) didirikan.
2)      Sistem bahasa
Dalam kehidupan dan pergaulan sehari-hari, orang batak menggunakan beberapa logat, ialah : logat karo (yang dipakai oleh orang Karo), logat pakpak (yang dipakai oleh Pakpak), logat simalungun (yang dipakai oleh Simalungun), logat toba ( Yang dipakai oleh orang Toba, Angkola dan Mandailing).
a)      Aksara Suku Batak
Orang Batak adalah salah satu suku dari sedikit suku di Indonesia yang memiliki aksara sendiri yaitu aksara Batak. Walaupun masing-masing sub suku Batak juga memiliki jenis huruf yang berbeda-beda akan tetapi kemiripan masing-masing huruf tersebut masih dapat dimengerti oleh masing-masing sub suku lainnya. Bahasa yang digunakan oleh masyarakat Batak juga mememiliki kemiripan antara satu sub suku dengan sub suku lainnya. Sehingga tidak mengherankan apabila satu orang Batak dapat menguasai beberapa jenis bahasa Batak sekaligus. Dari struktur penyusunan dan pengucapan bahasa, terdapat 2(dua) kelompok utama: bahasa Toba serta logat Angkola dan Mandailing yang serumpun (kelompok bahasa selatan); bahasa Karo, bersama logat Dairi dan Pakpak yang serumpun(kelompok bahasa utara). Sedangkan bahasa yang dipakai di Simalungun merupakan perpaduan kedua kelompok bahasa tersebut di atas. Dari keenam sub suku yang ada bahasa Batak Toba adalah bahasa yang paling banyak digunakan. Dalam beberapa hasil penelitian disebutkan bahwa bahasa maupun tulisan aksara Batak banyak mendapat pengaruh dari India yaitu bahasa Sanskerta. Pengaruh tersebut diyakini masuk melalui kebudayaan Hindu Jawa atau Hindu Sumatera. Sebagai contoh dalam bahasa Batak Toba, purba diartikan sebagai arah mata angin utara demikian halnya dalam bahasa sansekerta India. Entah dimana letak kebenarannya, apakah orang Batak adalah penerus dari orang India yang bermigarasi ke Tano Toba atau sebaliknya, saat ini belum ada kesimpulan yang pasti untuk itu.
Aksara Batak Toba terbagi atas dua bagian besar yaitu suku kata dasar yang dibentuk oleh penggalan suku-suku kata yang diakhiri dengan huruf vokal a, misalnya ha, ka, ba, pa, dll. Kelompok huruf seperti ini dikenal sebagai ina ni surat atau indung surat. Kelompok huruf lainya disebut sebagai anak ni surat yaitu imbuhan yang membentuk penggalan suku kata gabungan yang tidak terdapat pada suku kata dasar seperti e, i, u, o, eng, ing, ang, ung, ong,dll. Dalam penulisan aksara Batak Toba terdapat aturan-aturan yang menggabungkan antara ina ni surat dan anak ni surat sehingga membentuk sebuah kata dan kalimat yang memiliki arti. Secara umum pembagian ini juga ada dalam aksara sub suku Batak lainnya.
Dalam bidang satra, dapat ditemukan beberapa jenis hasil karya sastra yang berkembang dalam masyarakat Batak Toba, diantaranya adalah mitos, sajak, mantera-mantera, doa dukun (tonggo-tonggo),pantun nasihat/umpasa-umpasa, senandung/ andung-andung serta teka-taki/huling-hulingan atau hutinsa serta beragam turi-turian/ cerita rakyat. Dari sekian banyak mitos dan turi-turian/ cerita rakyat yang berkembang di masyarakat, kisah yang paling banyak dikenal adalah kisah penciptaan manusia pertama yang diyakini berasal dari turunan Debata Mulajadi Na Bolon. Dikisahkan Debata Mulajadi Na Bolon adalah dewa tertinggi dalam mitologi Batak. Bersama dengan dewa-dewi lainnya ia menciptakan tiga tingkat dunia yaitu Banua Ginjang, Banua Tonga, dan Banua Toru. Istrinya yang bernama Manuk Patiaraja melahirkan tiga butir telur yang kemudian menetas menjadi 3 orang anak Debata Mulajadi Na Bolon yaitu Batara Guru, Soripada, dan Mangala Bulan. Batara Guru berkedudukan di Banua Ginjang. Soripada berkedudukan di Banua Tonga dan Mangala Bulan berkedudukan di Banua Toru. Ketiganya dikenal sebagai kesatuan dengan nama Debata Sitolu Sada (Tiga Dewa Dalam Satu) atau Debata Na Tolu (Tiga Dewata). Dikisahkan pula Debata Mulajadi Na Bolon kemudian mengirimkan putrinya Tapionda ke bumi tepatnya ke kaki Gunung Pusuk Buhit. Tapionda kemudian menjadi ibu raja yang pertama di tanah Batak yaitu si Raja Batak. Ini adalah salah satu mitos yang dipercayai oleh orang Batak dari sekian banyak mitos yang diturunkan oleh nenek moyang orang Batak kepada para penerusnya.
Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, kata atau istilah debata berasal dari bahasa Sansekerta (India) yang mengalami penyesuaian dialek Batak. Karena dalam dialek Batak tidak mengenal huruf c, y, dan w sehingga dewata berubah menjadi debata atau nama Carles dipanggil Sarles, hancit (sakit) dipanggil menjadi hansit.
Dari pengamatan penulis, setiap kata atau istilah Sansekerta yang memiliki huruf w, kalau masuk ke dalam Bahasa Batak akan diganti menjadi huruf b, atau huruf yang lain.
Istilah-istilah Sansekerta yang  diserap dalam bahasa Batak:
·  Purwa ; Prba ; Timur
·  Wajawia ; Manabia ; Barat Laut
·  Wamsa ; Bangso ; Bangsa
·  Pratiwi ; Portibi ; Pertiwi
·  Swara ; Soara ; Suara
·  Swarga ; Surgo ; Surga
·  Tiwra ; Simbora ; Perak
b)     Salam Khas Batak
Tiap puak Batak memiliki salam khasnya masing masing. Meskipun suku Batak terkenal dengan salam Horasnya, namun masih ada dua salam lagi yang kurang populer di masyarakat yakni Mejuah juah dan Njuah juah. Horas sendiri masih memiliki penyebutan masing- masing berdasarkan puak yang menggunakannya. Berikut ini beberapa contoh salam khas Batak:
1.      Pakpak “Njuah-juah Mo Banta Karina!”
2.      Karo “Mejuah-juah Kita Krina!”
3.      Toba “Horas Jala Gabe Ma Di Hita Saluhutna!”
4.      Simalungun “Horas banta Haganupan, Salam Habonaran Do Bona!”
5.      Mandailing dan Angkola “Horas Tondi Madingin Pir Ma Tondi Matogu, Sayur Matua Bulung!”

3. Adat istiadat dan kesenian
1.      Adat
Adat adalah bagian dari pada Kebudayaan, berbicara kebudayaan dari suatu bangsa atau suku bangsa maka adat kebiasaan suku bangsa tersebut yang akan menjadi perhatian, atau dengan katalain bahwa adat lah yang menonjol didalam mempelajari atau mengetahui kebudayaan satu suku bangsa, meskipun aspek lain tidak kalah penting nya seperti kepercayaan, keseniaan,kesusasteraan dan lain-lain .
Dahulu kala keseluruhan aspek kehidupan orang Batak diatur oleh dan didalam adat.Gunanyaialah untuk menciptakan keterarturan didalam masyarakat.Kegiatan sehari-hari didalamhubungan sesama orang Batak selalu diukur dan diatur berdasarkan adat.
Namun keterbukaan akan suku bangsa lain dan membawa budayanya misalnya melalui asimilasidan akulturasi (proses percampuran dua budaya atau lebih) , dan agama yang melarang untuk terlibat dalam adat mempengaruhi sikap pada adat dan tradisi membuat cenderung semakingoyang. Artinya muncul sikap tidak lagi membutuhkan adat istiadat warisan nenek moyang,meskipun masih banyak yang mematuhi dan melaksana-kan adat bahkan dibeberapa suku Batak masih membutuhkannya didalam pengaturan masyarakat, dan kenyataan dapat diharapkansebagai suatu alat pemeliharaan moral.
Orang Batak mengenal 3 (tiga) tingkatan adat yaitu:
a)      Adat Inti,adalah seluruh kehidupan yang terjadi (in illo tempore) pada permulaan penciptaandunia oleh Dewata Mulajadi Na Bolon. Sifat adat ini konservatif (tidak berubah).
b)      Adat Na taradat,adat yang secara nyata dimiliki oleh kelompok desa, negeri, persekutuanagama, maupun masyarakat. Ciri adat ini adalah praktis dan flexibel, setia pada adat inti atau tradisi nenek moyang. Adat ini juga selalu akomodatif dan lugas menerima unsur dari luar,setelah disesuaikan dengan tuntunan adat yang asalnya dari Dewata.
c)      Adat Na niadathon, yaitu segala adat yang sama sekalibaru dan menolak adat inti dan adat nataradat, adat na diadatkan ini merupakan adat yang menolak kepercayaan hubungan adat denganTuhan, bahkan merupakan konsep agama baru (Kristen, Islam dll)yang dipandang sebagai adat,yang justru bertentangan dengan agama asli Batak atau tradisi nenek moyang. (Sinaga 1983).
Berdasarkan ketiga tingkatan adat tersebut diatas.Adat yang sekarang dilakoni orang Batak adalah Adat tingkat kedua.Namun dibeberapa bagaian kelompok Batak sudah mendekati tingkat ketiga.Meskipun ini terjadi sadar atau tidak sadar dilakukan. Oleh karena itu Adat kebiasaan atau “Adat Batak”, sesuatu yang sangat penting didalam kehidupan bermasyarakat bagi suku Batak maka perlu dikhayati maka petuah petuah dibawahini:
“Adat do ugari, Sinihathon ni mulajadi. Siradotan manipat ari, salaon di si ulubalang arai.Ia adat ido ugari, Ale guru saingganon. Radotan manipat ari, Salaon di ahason”.
Artinya: Adat ialah aturan, ditetapkan oleh Tuhan yang dituruti sepanjang hari tampak dalamkehidupan.
Maksudnya: bahwa Adat itu adalah hukum tidak tertulis yang di siratkan oleh Tuhan yang MahaKuasa kepada nenek moyang terdahulu sehingga merupakan suatu ikatan bagi yangmenganutnya.
Jikalau adat itu sudah merupakan hukum maka sesuai dengan prinsip-prinsip hukum akan berlaku kepadanya, seperti pelanggaran terhadap adat tersebut maka akan dikenakan sanksi adatkepada sipelanggar sesuai dengan aturan main, seperti hukum acaranya.
Namun karena ada tBatak itu tidak tertulis karena dia merupakan adat kebiasaan yang turun-temurun. Dan keputusannya tidak tertulis atau ter arsip namun jika eksekusi telah terlaksana akan bergulir kesegala penjuru dan diwariskan turun temurun hasil keputusan adat sehingga terkadangmerupakan pengikat yang kuat atas keputusan adat tersebut.yang terasa terasa sampai kini .
Jadi adat adalah aturan hukum yang mengatur kehidupan manusia sehingga bisa menciptakanketerarturan, ketentraman dan keharmonisan, dan adat ditrapkan didalam kehidupan sehari-harioleh orang Batak, terutama didalam sistem kekarabatan dengan pedoman prinsip Dalihan Natolu,disamping aturan adat yang lain.
Adat salah satu dari budaya, dan penguraian tentang adat sangat komplek, karena didalam semuaaspek kehidupan bermasyarakat orang Batak selalu terikat didalam tata cara yang telah diatur sejak nenek moyang orang Batak, oleh karena itu ukuran terhormat suatu keluarga selalu diukur dari kemampuan keluarga tersebut mengimplementasi-kannya (adat) didalam bermasyarakat.
Namun suatu hal yang tidak dapat dimungkiri bahwa perilaku pelaksanaan adat (budaya) Batak sudah banyak disusupi dengan unsur-unsur dari luar termasuk pengaruh dari Agama yang banyak merobah pola berpikir suku bangsa Batak. Meskipun demikian pada saat-saat situasi sulit umumnya masyarakat tradisional akan kembali pada nilai-nilai budaya Tradisional, hal ini nampak jelas pada suku Batak, bagai manapun ketat aturan yang dikeluarkan gereja dalam pelaksanaan adat, sadar atau tidak sadar pelaksanaan adat tradisional dilakukan juga, seperti margondang dengan Gondang sabangunan (bukan dengan alat musik modern).
2.      Sistem Kesenian
Seni Tari khas Suku Batak  yaitu: Tari Tor-Tor (bersifat magis), Tari Serampang dua belas (bersifat hiburan). Alat musik khas Suku Batak yaitu: Musik gondang. Orang Batak dikenal dengan sebagai masyarakat pecinta seni dan musik. Hampir semua sub suku memiliki jenis kesenian yang unik dan berbeda dari sub suku lainnya. Kesenian orang Batak Toba sendiri cukup beragam mulai dari tarian, alat musik dan jenis-jenis nyanian. Tarian yang menjadi ciri khas orang Batak Toba adalah tari Tor-tor dengan berbagai jenis nama tari untuk berbagai jenis kegiatan yang berbeda-beda. Tor-tor atau tari-menari merupakan salah satu kebudayaan Batak yang tertua.Dahulu kala seni tari-menari duhubungkan dengan kepercayaan animisme yang dapat mendatangkan kuasa-kuasa magis.Acara tari-menari diadakan untuk memohon kemenangan, kesehatan, dan kehidupan sejahtera kepada dewa-dewa.Acara tari-menari juga diadakan bilamana ada orang yang lahir, akil balig dan diterima sebagai anggota suku, pada saat menikah, dan pada waktu sudah mati.Namun sekarang tarian tersebut tidak lagi bersifat animisme, tetapi lebih dimaksudkan untuk mempererat hubungan kekerabatan dalam Dalihan Na Tolu.
Ø  Tari Tor-Tor Khas Suku Batak
Tor-tor adalah tarian seremonial yang disajikan dengan musik gondang. Walaupun secara fisik tortor merupakan tarian, namun makna yang lebih dari gerakan-gerakannya menunjukkan tor-tor adalah sebuah media komunikasi, dimana melalui gerakan yang disajikan terjadi interaksi antara partisipan upacara.Tor-tor dan musik gondang ibarat koin yang tidak bisa dipisahkan.
Seni tari Batak pada zaman dahulu merupakan sarana utama pelaksanaan upacara ritual keagamaan. Juga menari dilakukan juga dalam acara gembira seperti sehabis panen, perkawinan, yang waktu itu masih bernapaskan mistik (kesurupan).Acara pesta adat yang membunyikan gondang sabangunan (dengan perangkat musik yang lengkap), erat hubungannya dengan pemujaan para Dewa dan roh-roh nenek moyang (leluhur) pada zaman dahulu.Tetapi itu dapat dilaksanakan dengan mengikuti tata cara dan persyaratan tertentu.umpamanya sebelum acara dilakukan terbuka terlebih dahulu tuan rumah (hasuhutan) melakukan acara khusus yang dinamakna Tua ni Gondang, sehingga berkat dari gondang sabangunan. Dalam pelaksanaan tarian tersebut salah seorang dari hasuhutan (yang mempunyai hajat )akan meminta permintaan kepada penabuh gondang dengan kata-kata yang sopan dan santun sebagai berikut:
“Amang pardoal pargonci…….
“Alu-aluhon ma jolo tu omputa Debata Mulajadi Nabolon, na Jumadihon nasa adong, na jumadihon manisia dohot sude isi ni portibion.”
“Alu-aluhon ma muse tu sumangot ni omputa sijolo-jolo tubu, sumangot ni omputa paisada, omputa paidua, sahat tu papituhon.”
“Alu-aluhon ma jolo tu sahala ni angka amanta raja na liat nalolo.”
Setiap selesai satu permintaan selalu diselingi dengan pukulan gondang dengan ritme tertentu dalam beberapa saat. Setelah ketiga permintaan atau seruan tersebut dilaksanakan dengan baik maka barisan keluarga suhut yang telah siap manortor (menari) mengatur susunan tempat berdirinya untuk memulai menari. Kembali juru bicara dari hasuhutan memintak jenis gondang, satu persatu jenis lagu gondang, ( ada 7 jenis lagu Gondang) yang harus dilakukan Hasuhutan untuk mendapatkan (tua ni gondang). Para melakukan tarian dengan semangat dan sukacita. Adapun jenis permintaan jenis lagu yang akan dibunyikan adalah seperti : permohonan kepada Dewa dan pada ro-roh leluhur agar keluarga suhut yang mengadakan acara diberi keselamatan kesejahteraan, kebahagiaan, dan rezeki yang berlimpah ruah, dan upacara adat yang akan dilaksanakan menjadi sumber berkat bagi suhut dan seluruh keluarga, serta para undangan.Sedangkan gondang terakhir yang dimohonkan adalah gondang hasahatan. Didalam Menari banyak pantangan yang tidak diperbolehkan, seperti tangan sipenari tidak boleh melewati batas setinggi bahu keatas, bila itu dilakukan berarti sipenari sudah siap menantang siapapun dalam bidang ilmu perdukunan, atau adu pencak silat, atau adu tenaga batin dan lain lain. Selain menari orang Batak juga sangat senang menyanyi, baik secara perorangan, maupun berkelompok.
Lagu-lagu yang dinyanyikan bercerita tentang pemujaan terhadap kampung halaman, keindahan negeri dan panorama yang indah permai. Sedangkan andung atau ratapan adalah salah satu jenis nyanyian yang secara khusus dinyanyikan pada acara dukacita atau menggambarkan suasana hati yang sedang berduka dan sedih. Sebagai contoh,alat musik Batak Toba yang digunakan untuk mengiringi tarian tor-tor dan nyanyian juga beranekaragam. Alat musik ini ada yang terbuat dari bahan perunggu, kulit, kayu, dan bambu. Alat musik berbahan perunggu seperti ogung atau gong. Ogung merupakan instrumen 4 jenis gendang yang berlainan bunyi/nada, yaitu oloan, ihutan, doal, dan panggora. Sedangkan alat musik dari bahan kulit, kayu dan bambu meliputi tagading, hesek, hasapi (kecapi), saga-saga, garantung, suling (seruling), sordam dan salohat.
Alat musik tagading merupakan seperangkat instrumen yang terdiri dari 1 gondang sebagai bas, 1 odap-odap dan 5 tagading. Orang Batak Toba juga membedakan peralatan musik ini dalam dua golongan besar yaitu Gondang Bolon (terdiri dari gordang(gendang besar), taganing(gendang ukuran sedang) dengan lima lempeng kayu, odap-odap(gendang kecil) yang kadang-kadang diganti dengan lempengan logam, gong dari tembaga ditambah empat gong perunggu, dan sarune(seruling)) dan Gondang Hasapi (terdiri dari 2 buah hasapi, sarune kecil, suling(seruling), garantung(bumbung kecil) dengan lima lempeng kayu sebagai pengganti taganing).
Ø  Alat Musik Margondang Khas Suku Batak
§  Margondang Pada Masa Purba
Yang dimaksud dengan Masa purba adalah masa dimana sebelum masuknya pengaruh agama Kristen ketanah batak, dimana pada saat itu masih menganut aliran kepercayaan yang bersifat polytheisme.Pada masa purba penggunaan gondang dalam konteks hiburan maupun pertunjukan belum didapati masyarakat . Keseluruhan kegiatan di tujukan untuk upacara adat maupun upacara religi yang bersifat sakral. Oleh karena itu upacara margondang pada masa purba dapat dibagi dalam 2 bagian yaitu :
1)      Margondang adat, yaitu suatu upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari aturan-aturan yang dibiasakan dalam hubungan manusia dan manusia (hubungan horizontal), misalnya : gondang anak tubu (upacara anak yang baru lahir), gondang manape goar (upacara pemberian nama/ gelar boru kepada seseorang), gondang pagolihan anak (mengawinkan anak), gondang mangompoi huta (peresmian perkampungan baru), gondang saur matua (upacara kematian orang yang sudah beranak cucu) dan sebagainya.
2)      Margondang religi, yaitu upacara yang menyertakan gondang, merupakan akualisasi dari suatu kepercayaan tau keyakinan yang dianut dalam hubungan manusia dengan tuhan-nya atau yang disembahnya (hubungan vertikal), misalnya : gondang saem (upacara untuk meminta rejeki), gondang mamele, (upacara pemberian sesajen kepada roh), gordang papurpur sapata (upacara pembersihan tubuh/ buang sial) dan sebagainya.
Walaupun upacara margondang masa purba dibagi ke dalam dua bagian, namun hubungan dengan adat dan religi dalam suatu upacara selalu kelihatan dengan jelas. Hal tersebut dapat dilihat dari tata cara yang dilakukan pada setiap upacara adat yang selalu menyertakan unsur religi dan juga sebaiknya pada setiap upacara religi yang selalu menyertakan unsur adat. Unsur religi yang terdapat dalam upacara adat dapat dilihat dari beberapa aspek yang mendukung upacara tersebut, misalnya : penyertaan gondang, dimana dalam setiap pelaksanaan gondang selalu diawali dengan membuat tua ni gondang ( memainkan inti dari gondang), yaitu semacam upacara semacam meminta izin kepada mulajadi nabolon dan juga kepada dewa-dewa yang dianggap sebagai pemilik gondang tersebut. Sedangkan unsur adat yang terdapat dalam upacara religi dapat dilihat dari unsur dalihan na tolu yang selalu disertakan dalam pada setiap upacara. Menurut Manik, bahwa pada mulanya agama dan adat etnik Batak Toba mempunyai hubungan yang erat, sehingga tiap upacara adat sedikit banyaknya bersifat keagamaan dan tiap upacara agama sedikit banyaknya diatur oleh adat (1977: 69).
Walaupun hubungan dari kedua adat dan religi selalu kelihatan jelas dalam pelaksanaan suatu upacara, perbedaaan dari kedua upacara tersebut dapat dilihat dari tujuan utama suatu upacara dilaksanakan. Apabila suatu upacara dilaksanakan untuk hubungan manusia yang disembahnya, maka upacara tersebut di klasifikasikan kedalam upacara religi. Apabila suatu upacara dilakukan untuk hubungan manusia dengan manusia, maka upacara tersebut dapat di klasifikasikan ke dalam upacara adat.
§  Margondang pada Zaman Sekarang
Margondang pada masa sekarang merupakan perkembangan dari cara berpikir masyarakat setelah pengaruh gereja sudah sangat kuat pada masyarakat Batak Toba.Dalam ajaran Kristiani, gereja hanya mengakui satu Tuhan yang harus disembah yaitu Tuhan Yesus Kristus, apabila ada anggota gereja masih melakukan penyembahan terhadap roh roh nenek moyang dan kepercayaan mereka yang lama, maka orang tersebut aka dikeluarkan dari anggota gereja tersebut. Oleh karena itu,muncul beberapa masalah yang bersifat problematic tentang penggunaan gondang batak dalam kegiatan adat maupun keagamaan .
Di satu pihak orang Batak ingin mempraktikkan dan menghayati gondang itu menurut visi dan tradisi yang sudah sangat mendarah daging, dilain sisi ada kelompok yang menolak gondang untuk dipergunakan dalam upacara adat maupun keagamaan, karena mereka melihat unsur-unsur animism pada gondang tersebut , ada ketakutan mereka mempelajari sejarah batak dan menghidupi unsur-unsur kebudayaannya. Ketakutan ini timbul karena adanya predikat yang kurang baik sepeti kafir, kolot da tuduhan lain yang diberikan penganut kebudayaan tersebut. Pada bagian yang lain ada juga kelompok agama tradisional pada masyarakat Batak Toba yang menentang ajaran Kristen.
Konsep Margondang pada masa sekarang dapat dibagidalam tiga bagian besar, yaitu :
·         Margondang pesta, suatu kegiatan yang menyertakan gondang dan merupakan suatu ungkapan kegembiraan dalam konteks hibuan atau seni pertunjukkan, misalnya : gondang pembangunan gereja, gondang naposo, gondang mangompoi jabu (memasuki rumah) dsb.
·         Margondang adat, suatu kegiatan yang menyertakan gondang, merupakan aktualisasi dari system kekerabatan dalihan na tolu, misalnya : gondang mamampe marga (pemberian marga), gondang pangolin anak (perkawinan), gondang saur matua (kematian), kepada orang diluar suku Batak Toba, dsb.
·         Margondang Religi, upacara ini pada saat sekarang hanya dilakukan oleh organisasi agamaniah yang masih berdasar kepada kepercayaan batak purba. Misalnya parmalim, parbaringin, parhudamdam Siraja Batak. Konsep adat dan religi pada setiap pelaksanaan upacara oleh kelompok ini masih mempunyai hubungan yang sangat erat karena titik tolak kepercayaan mereka adalah mulajadi na bolon dan segala kegiatan yang berhubungan dengan adat serta hukuman dalam kehidupan sehari-hari adalah berdasarkan tata aturan yang dititahkan oleh Raja Sisingamangaraja XII yang diaggap sebagai wakil mulajadi na bolon.

4.   Hasil Kebudayaan Suku Batak
a)      Pakaian Adat Suku Batak
       Ulos adalah kain tenun khas Batak berbentuk selendang. Benda sakral ini merupakan simbol restu, kasih sayang dan persatuan, sesuai dengan pepatah Batak yang berbunyi: “Ijuk pangihot ni hodong, Ulos pangihot ni holong", yang artinya jika ijuk adalah pengikat pelepah pada batangnya maka ulos adalah pengikat kasih sayang antara sesama.
       Secara harfiah, ulos berarti selimut yang menghangatkan tubuh dan melindunginya dari terpaan udara dingin. Menurut kepercayaan leluhur suku Batak ada tiga sumber yang memberi panas kepada manusia, yaitu matahari, api dan ulos. Dari ketiga sumber kehangatan tersebut ulos dianggap paling nyaman dan akrab dengan kehidupan sehari-hari.
       Dahulu nenek moyang suku Batak adalah manusia-manusia gunung, demikian sebutan yang disematkan sejarah pada mereka. Hal ini disebabkan kebiasaan mereka tinggal dan berladang di kawasan pegunungan. Dengan mendiami dataran tinggi berarti mereka harus siap berperang melawan dinginnya cuaca yang menusuk tulang. Dari sinilah sejarah ulos bermula.
       Pada awalnya nenek moyang mereka mengandalkan sinar matahari dan api sebagai tameng melawan rasa dingin. Masalah kecil timbul ketika mereka menyadari bahwa matahari tidak bisa diperintah sesuai dengan keinginan manusia. Pada siang hari awan dan mendung sering kali bersikap tidak bersahabat. Sedang pada malam hari rasa dingin semakin menjadi-jadi dan api sebagai pilihan kedua ternyata tidak begitu praktis digunakan waktu tidur karena resikonya tinggi. Al hajatu ummul ikhtira'at, karena dipaksa oleh kebutuhan yang mendesak akhirnya nenek moyang mereka berpikir keras mencari alternatif lain yang lebih praktis. Maka lahirlah ulos sebagai produk budaya asli suku Batak.
       Tentunya ulos tidak langsung menjadi sakral di masa-masa awal kemunculannya. Sesuai dengan hukum alam ulos juga telah melalui proses yang cukup panjang yang memakan waktu cukup lama, sebelum akhirnya menjadi salah satu simbol adat suku Batak seperti sekarang. Berbeda dengan ulos yang disakralkan yang kita kenal, dulu ulos malah dijadikan selimut atau alas tidur oleh nenek moyang suku Batak. Tetapi ulos yang mereka gunakan kualitasnya jauh lebih tinggi, lebih tebal, lebih lembut dan dengan motif yang sangat artistik.
       Setelah mulai dikenal, ulos makin digemari karena praktis. Tidak seperti matahari yang terkadang menyengat dan terkadang bersembunyi, tidak juga seperti api yang bisa menimbulkan bencana, ulos bisa dibawa kemana-mana. Lambat laun ulos menjadi kebutuhan primer, karena bisa juga dijadikan bahan pakaian yang indah dengan motif-motif yang menarik. Ulos lalu memiliki arti lebih penting ketika ia mulai dipakai oleh tetua-tetua adat dan para pemimpin kampung dalam pertemuan-pertemuan adat resmi. Ditambah lagi dengan kebiasaan para leluhur suku Batak yang selalu memilih ulos untuk dijadikan hadiah atau pemberian kepada orang-orang yang mereka sayangi.
       Kini ulos memiliki fungsi simbolik untuk berbagai hal dalam segala aspek kehidupan orang Batak. ulos menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan adat suku Batak.
       Mangulosi, adalah salah satu hal yang teramat penting dalam adat Batak. Mangulosi secara harfiah berarti memberikan ulos. Mangulosi bukan sekadar pemberian hadiah biasa, karena ritual ini mengandung arti yang cukup dalam. Mangulosi melambangkan pemberian restu, curahan kasih sayang, harapan dan kebaikan-kebaikan lainnya.
       Dalam ritual mangulosi ada beberapa aturan yang harus dipatuhi, antara lain bahwa seseorang hanya boleh mangulosi mereka yang menurut tutur atau silsilah keturunan berada di bawah, misalnya orang tua boleh mengulosi anaknya, tetapi anak tidak boleh mangulosi orang tuanya. Disamping itu, jenis ulos yang diberikan harus sesuai dengan ketentuan adat. Karena setiap ulos memiliki makna tersendiri, kapan digunakan, disampaikan kepada siapa, dan dalam upacara adat yang bagaimana, sehingga fungsinya tidak bisa saling ditukar.
       Dalam perkembangannya, ulos juga diberikan kepada orang "non Batak". Pemberian ini bisa diartikan sebagai penghormatan dan kasih sayang kepada penerima ulos. Misalnya pemberian ulos kepada Presiden atau Pejabat negara, selalu diiringi oleh doa dan harapan semoga dalam menjalankan tugas-tugas ia selalu dalam kehangatan dan penuh kasih sayang kepada rakyat dan orang-orang yang dipimpinnya

b)     Rumah Adat Suku Batak
            Orang Batak memiliki pemukiman yang khas berupa desa-desa yang tertutup dan terdiri dari kelompok-kelompok kecil. Biasanya kelompok ini adalah kumpulan marga , clan atau kelompok yang masih memiliki hubungan kekerabatan. Tipikal desa tertutup ini disebut huta (secara khusus bagi orang Batak Toba).
Sebagai contoh desa tempat tinggal orang Batak Toba pada jaman dahulu dikelilingi oleh tembok batu atau tanah (parik) yang ditanami oleh pohon bambu yang sangat rapat sehingga hampir mustahil ditembus manusia. Saat ini masih ada beberapa sisa-sisanya yang bisa ditemukan di beberapa desa. Jalan masuk atau access road ke huta tersebut hanya ada satu atau maksimal dua gerbang yang disebut bahal, yaitu bahal jolo (gerbang depan) dan bahal pudi (gerbang belakang). Dekat dengan bahal biasanya terdapat sebuah pohon beringin (baringin) atau hariara. Merupakan pohon kehidupan yang dipercaya sebagai perantara antara dunia tengah dan dunia atas. Kedua pohon ini selalu terlibat dalam ritual mistis dan acara-acara adat orang Batak Toba.
Bagi orang Batak Toba terdapat dua jenis rumah adat yang ada di dalam suatu huta, yaitu ruma dan sopo yang letaknya biasa saling berhadapan. Diantara kedua deret ruma dan sopo tersebut terdapat halaman(alaman) yang luas dan digunakan sebagai pusat kegiatan orangtua maupun anak-anak. Kedua bangunan ini, meskipun secara sekilas kelihatan sama, sebenarnya sangat berbeda dari segi konstruksi dan fungsi. Dari segi konstruksi, ciri-ciri yang bisa dilihat adalah bentuk tangga, besar dan jumlah tiang, serta bentuk pintu. Konstruksi interior bangunan juga berbeda. Dari segi fungsi, ruma adalah tempat tinggal orang Batak, sedangkan sopo berfungsi sebagai lumbung padi, sebagai tempat pertemuan, tempat bertenun dan menganyam tikar, dan tempat untuk muda-mudi bertemu. Sopo orang Batak Toba pada awalnya tidak berdinding, tetapi oleh karena biaya mendirikan ruma sangat mahal dan susah, dikemudian hari sopo ini dialihkan fungsinya menjadi rumah tinggal dengan menambahkan dinding, pintu dan jendela.
Demikian juga rumah adat orang Batak yang lainnya memiliki tipikal bentuk rumah dan fungsi yang hampir sama. Namun masing-masing rumah adat tetap memiliki kekhasan masing-masing.
Rumah adat suku Batak Toba disebut juga ‘rumah bolon’. Rumah ini berbentuk panggung dengan bahan utama bangunan berupa kayu. Hal yang paling menarik perhatian adalah bentuk atapnya yang melengkung dan runcing di tiap ujungnya.
Di balik bentuknya yang sangat unik, ternyata rumah adat suku Batak ini memiliki makna dan arti tersendiri.Filosofi rumah adat suku batak memang sangat menarik untuk dipelajari, mulai dari proses pembangunan rumah sampai segala dekorasi, ternyata semuanya memiliki makna yang cukup dalam.
c.    Sistem IPTEK
            Sistem teknologi dalam orang Batak Toba cukup unik dengan adanya rumah batak yang menjadi arsitektur kebanggaan mereka. Ruma Batak ini dibangun dari bahan-bahan alami seperti ijuk, kayu, dan batu. Terdapat pengaturan hierarki ruang dalam ruma batak ini menurut kepentingan ruang dan penamaannya berdasarkan jenis ruangan tersebut.
       Selain itu juga terdapat hirarki pembentukan sebuah kampung atau huta yang dimulai dari kelompok terkecil yaitu klan keluarga, huta, kemudian bius sebagai kelompok yang terbesar.  Orang Batak memiliki kegemaran dan keahlian mengukir sejak lama.
       Hal ini dapat dilihat dari beberapa contoh bentuk peninggalan perhiasan yang ditemukan oleh para ahli. Material yang diukir adalah kayu dan juga logam. Perhiasan tersebut biasanya digunakan oleh para tetua atau keluarga pemimpin.
       Peninggalan perhiasan seperti ini juga dapat menunjukkan tingginya kemampuan teknologi yang telah berkembang pada masa itu. Selain perhiasan, masyarakat orang Batak juga menggunakan ukiran dari kayu yang disebut sebagai Gorga. Masing-masing gorga memiliki nama dan makna tersendiri serta bentuk yang khas. Penggunaan gorga ini mengikuti aturan-aturan tertentu yang telah ada sejak lama. Aturan tersebut menyangkut ketepatan pemaknaan dan penggunaan sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Hingga sekarang orang Batak juga masih tetap menekuni kegemaran mengukir seperti ini namun jumlah peminat dan yang memiliki keahlian untuk mengukir sudah sangat terbatas jumlahnya.

     D.    Ilmu pengetahuan
            Orang Batak juga mengenal sistem gotong-royong kuno dalam hal bercocok tanam. Dalam bahasa Karo aktivitas itu disebut Raron, sedangkan dalam bahasa Toba hal itu disebut Marsiurupan. Sekelompok orang tetangga atau kerabat dekat bersama-sama mengerjakan tanah dan masing-masing anggota secara bergiliran. Raron itu merupakan satu pranata yang keanggotaannya sangat sukarela dan lamanya berdiri tergantung kepada persetujuan pesertanya.

















BAB III
METODE PENELITIAN
A.    Jenis Penelitian
Pada penelitian ini peneliti berusaha memberi gambaran secara jelas tentang seberapa besar Persepsi Pendidikan Terhadap Anak Perempuan dan Laki-laki Pada Etnis Batak. Untuk mengungkapkannya peneliti menggunakan penelitian deskrtiftif kuantitatif yaitu suatu metode penelitian yang mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan kegiatan, sikap, pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh dari suatu fenomena, Whitney (1960).
B.     Sampel
Sampel adalah sebagian atau wakil dari populasi yang diteliti, dimana penelitian sampel bermaksud untuk mengeneralisasikan hasil penelitian”. (Arikunto. 2002;120) dan Berdasarkan pendapat di atas yang menjadi populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa/I Etnis batak yang berada dilingkungan kampus UNIMED yang diambil 9 orang responden etnis batak.
C.    Teknik Pengumpulan Data
Pengumpulan data dilakukan untuk memperoleh informasi yang dibutuhkan dalam rangka mencapai tujuan penelitian. Sebelum melakukan penelitian, seorang peneliti biasanya telah memiliki dugaan berdasarkan teori yang ia gunakan, dugaan tersebut disebut dengan hipotesis. Pengertian Hipotesis dan Langkah Perumusan Hipotesis. Untuk membuktikan hipotesis secara empiris, seorang peneliti membutuhkan pengumpulan data untuk diteliti secara lebih mendalam.
Proses pengumpulan data ditentukan oleh variabel-variabel yang ada dalam hipotesis. Pengumpulan data dilakukan terhadap sampel yang telah ditentukan sebelumnya. Data adalah sesuatu yang belum memiliki arti bagi penerimanya dan masih membutuhkan adanya suatu pengolahan. Data bisa memiliki berbagai wujud, mulai dari gambar, suara, huruf, angka, bahasa, simbol, bahkan keadaan. Semua hal tersebut dapat disebut sebagai data asalkan dapat kita gunakan sebagai bahan untuk melihat lingkungan, obyek, kejadian, ataupun suatu konsep.
Tehnik yang digunakan dalam penelitian kualitatif adalah sebagai berikut :
1.      Teknik wawancara adalah usaha mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan untuk-dijawab secara lisan pula dengan cirri utama berupa kontak langsung dengan tatap muka (face to face relationship) antara si pencari informasi (interviewer atau information hunter) dengan sumber informasi (interviewee).
2.      Observasi adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan. Ada 3 jenis observasi yaitu observasi partisipatif, observasi terus terang atau tersamar, observasi tak terstruktur
3.      Focus Group Discussion (FGD) adalah teknik pengumpulan data yang umumnya dilakukan pada penelitian kualitatif dengan tujuan menemukan makna sebuah tema menurut pemahaman sebuah kelompok.
4.      Teknik dokumen merupakan teknik pengumpulan data dengan sumber bukan manusia, non human resources, diantaranya dokumen, dan bahan statistik.

D.    Tehnik Analisis Data
       Analisis data ialah proses penguraian, data, menyusun dan mengkatagorikan, pola mencari atau tema dengan maksud untuk memahami. Adapun Tehnik Analisi data yang peneliti gunakan dalam penelitian ini adalah bersifat kuantitatif dengan menggunakan statistik deskriftif.

E.     Subjek Penelitian
Subjek sasaran penelitian ini adalah mahasiswa, di kawasan kampus UNIMED. Maksud dari pemilihan subjek penelitian ini untuk mendapatkan sebanyak mungkin informasi dari berbagai macam sumber sehingga data yang diperoleh dapat diakui kebenarannya. Pertimbangan lain dalam pemilihan subjek adalah subjek memiliki waktu apabila peneliti membutuhkan informasi untuk pengumpulan data dan dapat menjawab berbagai pertanyaan penelitian yang telah dirumuskan.


F. INSTRUMEN
      Kami melakukan teknik wawancara dengan pertanyaan dibawah ini :
1.      Seberapa kuatkah pengaruh pendidikan di etnis batak?
2.      Siapa orang yang paling berpengaruh menunjang anda untuk melanjutkan pendidikan di etnis batak?
3.      Apa sih hambatan anda sebagai etnis batak ketika anda sedang berproses didunia pendidikan?
4.      Bagaimana sebenarnya tujuan dari etnis batak untuk mendapatkan hak pendidikan?
5.      Ungkapan laki-laki etnis batak terhadap pendidikan?
6.      Ungkapan perempuan etnis batak terhadap pendidikan?
7.      Pentingkah pendidikan bagi anak-anak etnis batak?












BAB IV
PEMBAHASAN
     1.  Pengaruh Pendidikan pada Etnis Batak
            Pengaruh pendidikan kepada etnis batak adalah lebih ke arah pandangan hidup orang batak dahulu, ada orang batak mengatakan  Anakhon Hi Do Hamoraon Diahu” yang artinya “Anakku adalah kekayaan ku” yang maksudnya memperkuat motivasi masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin. Meski harus mengutang sana sini. Dalam konteks filosofi Batak, hamoraon adalah kekayaan materi, gabe, mamora, sangap. Artinya ada anak, ada harta, baru terpandang. Banyak anak adalah tujuan, sehingga ada perumpamaan yang berkata “maranak sapuluh pitu marboru sampuluh onom (tujuh belas putra enam belas putri).
            Hal tersebut bukan terjadi begitu saja. Pendidikan bagi orang Batak merupakan kebutuhan utama bahkan lebih penting dari segalanya. Ini merupakan kesadaran baru bangsa Batak setelah ribuan tahun terpuruk dalam peradaban tradisionalis dan mendapati dirinya menjadi bangsa yang tertinggal jauh dari bangsa lain di dunia ini di penghujung abad-19. Jadi, intinya adalah pengaruh pendidikan terhadap orang batak atau etnis batak didasari pada perkembangan jaman, seiring berjalan jaman etnis batak mulai menyekolahkan anak-anaknya keluar dari kampong halaman demi mencapai pendidikan setinggi langit, oleh sebab itu pendidikan untuk orang batak sekarang lebih maju, walaupun cenderung memang masih ada anak-anak batak yang sekolah se adanya atau berbekal pendidikan nonformal, sekedar mengetahui tapi tidak mendalami.
2.    Peran orang batak terhadap Pendidikan
       Jika ditanya tentang siapa yang lebih berpengaruh atau lebih berperan dalam menunjang pendidikan di etnis batak, bisa kita lihat yang sangat berpengaruh tentunya orang tua. Jika dibadingkan dengan perlunya pendidikan jaman dulu dengan jaman sekarang pendidikan otomatis sangat dibutuhkan dengan anak-anak batak yang sekarang. Balik lagi ke jaman dimana orang tua pada jamannya menganggap pendidikan itu hanyalah sebatas mengetahui tapi tidak perlu untuk dipahami.
       Seiring berkembanganya waktu, pendidikan mulai dikaji oleh datangnya penjajah belanda. Mengapa? Karena pada jaman penjajah belanda orang batak tidak memerlukan pendidikan karena yang mereka tahu mereka harus bekerja untuk penjajah belanda itu sendiri. Sampai akhirnya ada landasan dikembangkan “Anakku adalah kekayaan ku” maka orang tua pada etnis batak mulai berpikir bahwa anak mereka harus menjunjung pendidikan, sebagaimana bertujuan untuk mengembangkan kesadaran mereka bahwa belajar itu penting ilmu itu harus dituntun. Terbukti, sekarang orang batak banyak yang sukses dalam bidang pendidikan.
3.    Hambatan Etnis Batak dalam menunjang Pendidikan
       Hambatan orang batak lebih ke ekonomi, dimana pada jaman dahulu orang batak lebih mengutamakan hasil dari pekerjaan mereka untuk membeli modal untuk bercocok tanam, karena perkampungan orang batak hanya menghasilkan pundi-pundi pendapatan melalui bercocok tanam dari pertanian padi, inilah yang membuat orang tua pada jaman dahulu berpikir bahwa anak mereka cenderung harus melanjutkan pekerjaan sebagai petani di bandingkan harus bersekolah dengan mengeluarkan biaya yang banyak.
       Seiring berkembang jaman, anak-anak batak mulai berpikir bahwasanya pendidikan harus mereka dapati diluar dari ikut bercocok tanam. Tetapi juga mereka berpikir bahwa pendidikan yang mereka ambil akan mengeluarkan banyak biaya, namun dengan tekad yang kuat dan niat yang didasari untuk maju akhirnya mereka siap menunjang pendidikan di era modern ini, walaupun hambatan terbesar ialah pendapatan orangtua mereka di kampong halaman, serta kebutuhan mereka dalam memenuhi keperluan bahan pendidikan.
4.    Tujuan Pendidikan menurut Etnis Batak
       Tujuan pendidikan pada umumnya adalah meningkatkan kesadaran terhadap pendidikan sehingga pelajar memiliki bekal ilmu untuk apa yang akan terjadi ke depan nya. Dalam etnis batak sendiri sama saja pada pendidikan pada umumnya. Hanya yang membedakan ialah orang batak atau orangtua dari etnis batak, hanya memikirkan tujuan mereka untuk menyekolahkan anaknya, ialah supaya mereka hidupnya tidak susah seperti orangtuanya, sehingga kesuksesan yang mereka miliki menjadi benteng kehidupan selanjutnya.

5.    Ungkapan Perempuan & Laki-laki Etnis Batak terhadap Pendidikan
       Pada umumnya orang batak menganggap pendidikan sama halnya ingin tahu dan sekedar saja, misalkan perempuan batak pada jaman dulu berpikir bahwa pendidikan itu tidak terlalu penting justru mereka menganggap pendidikan itu adalah hal yang tak hubungan nya dengan keberhasilan mereka sebagai perempuan, sehingga dulu perempuan batak lebih bagus menikah di usia muda dibandingkan harus menuntut pendidikan. Sampai pada akhirnya, R.A Kartini mencetuskan bahwa emansipasi wanita itu harus ada, dengan tujuan bahwa perempuan harus berpendidikan agar tidak diinjak oleh kaum manapun, alhasil emansipasi ini mendapat perhatian yang sangat besar sehingga sekarang perempuan mulai menjunjung pendidikan bahkan mengutamakan pendidikan.
       Sedangkan laki-laki pada jaman dahulu laki-laki hanya dituntun untuk pandai dalam bercocok tanam agar menghasilkan pendapatan keluarga mereka, laki-laki batak mulai berpikir penting nya pendidikan ketika emansipasi wanita tercetus, mereka berpikir bahwa tidak hanya wanita yang harus berpendidikan melainkan mereka juga harus seperti itu. Seiring berkembangnya waktu dan jaman, laki-laki etnis batak mulai memberanikan diri keluar kampong halaman demi menjunjung pendidikan mereka.         
     6.    Pentingnya Pendidikan menurut Etnik Batak
            Pentingnya pendidikan bagi orang Batak membuat para orangtua di kampung berlomba-lomba menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi ke kota atau provinsi lain. hubungan antara variabel pendidikan orang Batak Toba dan persaingan menyekolahkan anak ini tidak signifikan. Artinya, tidak ada perbedaan sikap di antara golongan pendidikan dalam usaha menyekolahkan anak. Baik orangtua yang tidak berpendidikan maupun yang berpendidikan sama-sama berkeinginan keras menyekolahkan anak-anaknya ke sekolah yang lebih tinggi, sesuai kemampuan.  Pendidikan orang batak mempengaruhi tempat tinggal, hasil riset Prof. Dr Bungaran Antonius Simanjuntak (2011) menunjukkan, pengaruh signifikan pendidikan orang Batak Toba terhadap pilihan tempat tinggalnya.

            Artinya, tempat tinggal anak dan menantu orang Batak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan mereka. Semakin tinggi tingkat pendidikan, maka tempat tinggalnya semakin jauh dari daerah asal. Sebaliknya, semakin rendah tingkat pendidikan, cenderung tinggal di daerah asal, Tapanuli Utara, dan daerah pemekarannya sekarang.


















BAB V
PENUTUP
A.    SIMPULAN
Sejak dahulu kala pula aliran dinamisme dan anenisme yang masih dipercayai dalam bertahan hidup. Sehingga ini yang membuat putra/putri batak tidak berkembang secara manusiawi yang seutuhnya. Tapi seiring berkembang nya jaman, begitu pula dengan masuk nya sih nomensen yang membawa pemahaman yang mencoba merubah nasib kaum bangsa batak toba ini agar memiliki agama yang seutuhnya benar agar dimana bangsa batak itu bisa berkembang ke jalan yang benar, mulai lah pemikiran bangsa batak itu terbuka akan pentingnya suatu pendidikan yang telah di ajarkan oleh sih nomensen.
Yang mana di dalam suatu pendidikan itu diajarkan suatu berperilaku yang benar dengan santun sesuai dengan manusia seutuhnya bukan seperti sifat kebinatangan yang mana manusia makan manusia dan membunuh yang lemah. Karena pada suatu saat dulu hokum rimba masih berlaku di tengah-tengah bangsa batak dulu yang mana yang kuat yang berkuasa. Tapi setelah bangsa batak mulai mengenal pendidikan sedikit demi sedikit maka prinsip yang kuat yang bekuasa mulai sirna.
Orang batak dikenal mempunyai system pendidikan yang bagus. Ini terbaca dari semacam pepatah, “sian jabu bar utu halaman, sian halaman tu balian” ( dari rumah baru ke halaman, dari halaman ke sawah atau lapangan kerja). Tetapi, itu dulu suatu keunggulan orang batak yang kelihatannya sudah hilang, paradigm pendidikan di tanah batak sudah berubah.
Salah satu pandangan hidup orang batak yang berbunyi “Anakhon hi do hamoraon di ahu” telah memperkuat motivasi masyarakat untuk menyekolahkan anak mereka setinggi mungkin. Dalam konteks filosofi batak, hamaraon adalah kekayaan materi, gabe, mamora, sangao. Artinya ada anak, ada harta, baru terpandang. Banyak anak adalah tujuan, sehingga ada perumpamaan yang berkata “maranak sapuluh pitu marboru sampuluh onom” ( tujuh belas putra enam belas putri ).
Motivasi untuk memperoleh pendidikan yang baik tidak diragukan lagi dikalangan masyarakat batak, masalahnya adalah mereka yang sudah terdidik dengan baik jarang yang mau kembali untuk membangun kampong halaman yang masih miskin. Tetapi, masalahnya belum tentu semua bersepakat untuk mengatakan tanah batak miskin. Dari yang tidak setuju itu termasuk yang sudah berpuluhan tahun menetap di kota.

B.     SARAN
Penulis menyadari bahwa kajian telah dilakukan ini tidak terlepas dari kekurangan. Saran dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca sangat kami harapkan sehingga kajian  menjadi semakin mantap. Akhirnya, semoga kajian ini memberikan manfaat bagi pembaca dalam menambah khazanah keilmuan.
Jika dilihat dari pembahasan materi dapat disimpulkan dengan memberikan saran pendidikan lebih diperhatikan sampai ke kampong halaman mau itu batak, jawa, bahkan sampai papua sekalipun. Dengan ini pendidikan dapat maju karena pendidikan adalah salahsatu cara untuk mengahadapi tantangan hidup ke depannya, untuk etnis batak sendiri saran kami sebagai penulis pendidikan lebih ditingkat kan dengan adanya pemberian mata pelajaran bahasa daerah terhadap materi pembelajaran, guna untuk tidak melupakan aksen daerah kampong halaman.












DAFTAR PUSTAKA
Salomo, Mangaradja. 1938. Memilih dan Mengangkat Radja di Tanah Batak menurut Adat Asli.. Sibolga: Rapatfonds Tapanuli.
 

BTS - Jimin  - Park Ji Min